Minggu, 12 April 2009

Dilema Jabatan Ex-Officio dalam Gerakan Pramuka

Setiap organisasi punya kepengurusan. Tidak kecuali Gerakan Pramuka. Dalam organisasi kepramukaan, secara garis besar ada tiga lembaganya. Pertama Majelis Pembimbing (Mabi). Kedua adalah kwartir. Semua pengurus kwartir dipilih melalui musyawarah pada setiap jenjang organisasi. Jika di nasional melalui musyawarah nasional maka di daerah melalui musda. Begitu seterusnya sampai ke bawah. Berikutnya ada yang disebut Dewan Kerja (DK). Ini merupakan lembaga kader dalam Gerakan Pramuka. Anggota dewan ini dipilih oleh anggota pramuka tingkat ’penegak’ dan ’pandega’ (usia 16 – 25 tahun).

Tetapi khusus dalam kelembagaan Majelis pembimbing, jabatan ketuanya melekat langsung dengan jabatan seorang penguasa. Jika pada tingkat nasional langsung dipercayakan pada presiden. Sedangkan pada tingkat daerah (provinsi) diketuai oleh gubernur. Seterusnya pada tingkat cabang (kabupaten/kota) diketuai bupati atau walikota, di tingkat ranting (kecamatan) ketuanya camat dan pada tingkat gugusdepan yang berpangkalan di kampus/sekolah, ketuanya Rektor dan kepala sekolah. Sedangkan anggota Mabi cenderung ditunjuk oleh penguasa yang menjadi Ketua Mabi tersebut.

Dengan jabatan ex-officio itu diharapkan para penguasa bersama para kepala dinas/instansi di jajarannya akan dapat memberikan dukungan maksimal pada Gerakan Pramuka. Pengurus Mabi yang memahami visi dan misi kepanduan ini, apalagi kalau pernah aktif dalam Gerakan Pramuka, manfaatnya sangat besar dalam mendorong kemajuan Gerakan Pramuka.

Tetapi kenyataannya, tidak semua penguasa yang jadi pengurus Mabi itu pernah aktif dalam kepramukaan. Bahkan ada yang kurang mau memahami visi dan misi Gerakan Pramuka. Diakui atau tidak, sebagian di antaranya seperti terpaksa menerima jabatan ex-officio itu. Bagaimana pun kurangnya minatnya terhadap pembinaan generasi muda lewat kepanduan ini, jabatan pengurus Mabi harus diterima juga. Akibatnya timbul masalah. Bimbingan yang diberikan pada pembinaan pramuka hanya dengan setengah hati. Sekedar mencari alasan saja pada atasan yang bersangkutan. Sekedar melengkapi laporan bahwa dirinya telah menjalankan tugas. Tetapi bagaimana prestasi yang dihasilkan oleh pramuka dibawah bimbingannya, itu tak dipersoalkan.

Justru itu, tidak mengherankan bila yang banyak dilihat hanya siswa yang berseragam pramuka pada hari tertentu saja. Para kepala sekolah yang secara ex-officio adalah Ketua Majelis Pembimbing Gugusdepan di sekolahnya, merasa sudah cukup beralasan melaporkan anggota pramukanya banyak. Sebanyak murid yang belajar di sekolah bersangkutan. Padahal yang aktif dalam latihan pramuka tak sebanyak itu. Bahkan ada sekolah yang sama sekali tidak melaksanakan kegiatan pramuka, tetapi papan nama gugusdepan pramuka terpajang juga di sekolah itu. Jika ditanya, sang kepala sekolah selaku Ketua Mabigus itu tidak bisa menjelaskan status anggota pramukanya.

Kalau yang dimaksud adalah Kepala SD, banyak yang tidak tahu membedakan mana pramuka ’Siaga’ dan pramuka ’Penggalang’. Semuanya dianggap penggalang saja. Lalu yang Kepala SMP banyak pula yang tak tahu status anggota pramukanya, apakah sudah penggalang ’ramu, rakit’ atau ’terap’. Soalnya, jabatan sebagai Ketua Mabigus Pramuka bukan diingininya, tetapi sebagai ’beban’ yang terpaksa dipikul. Jangankan untuk berusaha lebih tahu tentang kepramukaan, ikut memakai seragam pramuka lengkap dengan kacu saja dia enggan. Sehingga kadang-kadang siswa berseragam pramuka, Kepala Sekolah tidak. Sebuah contoh yang ironis.

Kalau mau jujur, bukan hanya Ketua Majelis Gugusdepan saja yang merasa jabatan ex-officio itu sebagai ’beban.’ . Tetapi juga dirasakan sejumlah camat di tingkat kepengurusan ’ranting’ dan bupati/walikota di tingkat cabang. Ini tercermin dari sikap dan perhatiannya terhadap kegiatan pramuka. Belum banyak yang menjalankan fungsinya sebagai pembimbing yang serius. Belum banyak Mabi yang mau memacu prestasi pramuka yang di bawah bimbingannya, seperti besarnya kemauan pengurus olahraga menggenjot prestasi atlet.

Bahkan untuk Kabupaten Mentawai, sampai sekarang belum terbentuk Kwarcabnya. Bupati yang secara ex-officio Ketua Mabi Pramuka cenderung mengabaikan saja. Ini membuktikan tidak ada manfaatnya jabatan ex-officio bagi pramuka di kabupaten itu.
(Edi Suardi/Humas Kwarda 03 Sumbar)

Comments :

0 komentar to “Dilema Jabatan Ex-Officio dalam Gerakan Pramuka”


Posting Komentar

Pengurus DKC Tanah Datar Masa Ke masa

Album Kenangan Kwarcab Tanah Datar