Jumat, 12 November 2010

RI - Malaysia Membangun Diplomasi Budaya Dari Sudut Pandang Kesejarahan




Dr. Prudentia MPSS
Anggota EPG Indonesia/Dosen dan Peneliti UI
Indonesia dan Malaysia (serta Singapura) pernah memiliki perjalanan sejarah dan pengalaman budaya yang sama pada masa lalu. Sampai dengan Traktat London tahun 1824, kedua negara berada dalam wilayah kerajaan yang bernama Melayu. Beberapa sumber penting seperti yang dikatakan oleh Petrus van der Worm, Valentijn dan W. Marsden pada abad ke-17 dan 18 menyebutkan bahwa asal Melayu adalah Sumatera pantai timur bagian tengah atau selatan yang kemudian menyebar ke Tanah Semenanjung.
Berbeda dengan pendapat tersebut, James Collins yang mendasarkan pendapatnya dari sudut kebahasaan, mengatakan asal Melayu berasal dari Kalimantan Barat. Terlepas dari perbedaan tersebut, pada hakekatnya Indonesia dan Malaysia adalah satu: Sultan Abdul Jalil di Johor memiliki kekuasaan sampai ke wilayah Lingga; Sultan Mahmud yang berkuasa di Siak adalah juga Sultan yang menjadi raja di Johor.
Wilayah kerajaan Melayu telah berjaya selama beberapa abad sampai kemudian dibuat perjanjian oleh Belanda dan Inggris untuk mengadakan pembagian hak kekuasaan wilayah dalam Traktat London tahun 1824 yang memisahkan wilayah kerajaan ini menjadi wilayah yang kemudian bernama Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Lingga di Indonesia menjadi sebuah kecamatan dan bukan lagi kerajaan; Temasik menjadi Singapura; Riau dan Kepulauan Riau menjadi provinsi bukan sebuah negara seperti halnya Malaysia.
Perjalanan ‘kemelayuan’ di Indonesia dan Malaysia kemudian berubah. Melayu di Malaysia menjadi pernyataan politik, sedang di Indonesia adalah pernyataan budaya. Sebagai sebuah pernyataan politik, Melayu adalah berbudaya Melayu, berebahasa Melayu dan beragama Islam, Melayu merupakan penanda yang dikekalkan di Malaysia.
Di Indonesia secara politis, pernyataan tersebut meski diterima sebagai sebuah kenyataan, khususnya oleh sebagian besar masyarakat di wilayah Melayu di Sumatera Timur, Riau dan Kepulauan Riau, tetapi masih terdapat ruang bebas untuk memasukkan Melayu yang ‘lain’, seperti Melayu Betawi, Melayu Sambas, Melayu Banjar, Melayu Ambon, Melayu Flores (Lamatera) dan Melayu Papua (Raja Ampat). Kesimpulan yang didapatkan dari Seminar Revitalisasi Budaya Melayu (RBM) di Tanjung Pinang pada 2004, menyebutkan kemelayuan sebagai sebuah pluralitas yang religius dan bersifat terbuka memperkuat perumusan Melayu di Indonesia sebagai konsep budaya.
Dalam perjalanannya menjadi Malaysia seperti sekarang, berbagai suku yang ada di Indonesia (Bugis, Jawa, Aceh, Minang) berperan dalam pembentukan masyarakat ‘Melayu’, bahkan beberapa sultan Malaysia berasal dari wilayah Indonesia. Begitupun perkembangan masyarakat budaya di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh diaspora Melayu ini yang melibatkan perjalanan sejarah genealogis dan psikologis kedua bangsa.
Dalam hal lainnya, sampai sekitar tahun 1980-an, Malaysia banyak meminta bantuan pendidik dan tenaga ahli dari Indonesia untuk memperkuat bidang pendidikan di negeri ini. Di bidang hiburan, kita masih dapat mengingat kedekatan kedua bangsa, misalnya melalui siaran bersama dalam bidang seni budaya yang dilakukan dengan mesra seperti yang terlihat dalam acara ‘Titian Muhibah’ di televisi kedua negara.
Hal-hal yang mengeratkan pemahaman yang mendalam mengenai kedua negara secara khusus telah dilakukan oleh pihak Malaysia dengan memasukkan dalam kurikulum nasionalnya pemahaman mengenai karya-karya sastra dan sejarah Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaannya sampai sekitar tahun 80-an.
Ikatan genealogis, sejarah dan budaya seperti tersebut di atas, meski juga diwarnai dengan peristiwa ‘konfrontasi’ dan ketegangan lain dalam hal politik dan pertahanan negara, tidak dapat dinafikan telah menjadi unsur perekat kedua bangsa. Perjalanan setelah era tahun 1980-an memang ternyata berbeda. Generasi muda Malaysia yang lahir dan tumbuh pada tahun setelah 70-an dan sesudahnya tidak mengenal Indonesia dengan pemahaman perjalanan sejarah, budaya dan genealogis seperti masa generasi sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Malaysia yang melebihi Indonesia menjadi pemicu perubahan sikap mereka.
Bila pada masa terdahulu banyak ilmuwan Malaysia merasa Bangga mendapatkan gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Indonesia (antara lain Prof. Tan Sri Ismail Hussein mendapatkan gelar dari Universitas Indonesia dan Mahathir Mohammad mendapatkannya dari Universitas Syiah Kuala, Aceh) dan banyak pelajar Malaysia yang belajar di Indonesia, sekarang kenyataannya menjadi terbalik. Memang masih cukup banyak pelajar Malaysia yang belajar di Indonesia saat ini, tetapi animonya tidak seperti dahulu dan lebih khususnya di bidang kedokteran.
Di dalam kehidupan akademis, hubungan antarpakar di bidang sosial budaya cukup baik, khususnya pada era yang disebut di atas. Dalam banyak pertemuan ilmiah yang dilaksanakan oleh pihak profesional Indonesia, Malaysia termasuk negara yang banyak mengirimkan delegasinya sebagai pensyarah dan peserta pertemuan.
Kelompok kerjasama kebahasaan dan sastra yang telah dirintis pada tahun 70-an dan 80-an, seperti Majelis Bahasa Indonesia Malaysia (MABIM) dan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), persatuan para penulis Indonesia dan Malaysia dapat disebutkan sebagai sebagian contoh yang memperlihatkan hubungan baik antarnegara. Kamus istilah, kamus bahasa dan jurnal berkala sebagai hasil dari kerjasama selama ini memperlihatkan hubungan baik kedua negara.
Dalam bidang penciptaan seni, banyak seniman Indonesia yang sampai hari ini masih diminta untuk berkarya dan mengajarkan ilmunya di Malaysia. Meskipun kenyataan tersebut di atas dapat dipandang sebagai hal positif yang telah dicapai dalam hubungan antarbangsa, masih ada masalah dalam meningkatkan hubungan kedua negara menjadi lebih mesra dan bahkan dapat menjadi sinergi penggerak kekuatan budaya di ASEAN dan Asia umumnya.
Kendala pertama adalah sikap proaktif dan overprotective Malaysia yang amat luar biasa yang seringkali agak mengabaikan konvensi internasional dalam hal penjagaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber budaya warisan kedua negara. Ketika ‘Tari Pendet’ dipermasalahkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai ‘pencurian kekayaan budaya’, pihak Malaysia menganggapnya sebagai hal biasa. Tari Pendet yang sudah dikenal umum, dianggap sebagai milik bersama yang dapat diambil oleh siapa saja. Di satu pihak, anggapan ini bisa saja benar bila tidak berkaitan dengan keuntungan finansial. Kita pun sering memainkan repertoire musik klasik tanpa membayar pajak dan tanpa minta ijin dari pemegang lisensinya. Perbedaannya terletak pada penyebutan nama komponis atau penciptanya.
Sikap proaktif Malaysia pada kasus-kasus tertentu sebenarnya dapat dilihat sebagai suatu ’penyelamatan’. Sama halnya dengan peristiwa pengalihan dan penyimpanan naskah-naskah kita di Belanda. Sampai sekarang kita masih dapat menemukan sumber warisan budaya kita dari beberapa abad lalu seperti yang tersimpan dalam naskah-naskah yang ada di negeri Belanda (KITLV dan UB, Leiden) dan di beberapa negara lain seperti di Inggris (SOAS, London) dan Jerman. Rekaman

Comments :

0 komentar to “RI - Malaysia Membangun Diplomasi Budaya Dari Sudut Pandang Kesejarahan”


Posting Komentar

Pengurus DKC Tanah Datar Masa Ke masa

Album Kenangan Kwarcab Tanah Datar